Karya musik dapat menjadi pintu untuk memahami masa lalu dan dampaknya bagi masa depan. Mengarsipkan karya musik berarti turut menjaga memori nusantara sebagai bentuk warisan budaya. Hal ini tercetus dalam bincang santai berjudul “Arsip Musik Indonesia” dalam Coffee Talks #6 yang diadakan oleh P3RI pada hari Selasa, 4 Mei 2021 melalui kanal komunikasi ISIPII.
Acara ini menghadirkan Gerry Apriryan dan Renovan Reza Rivandy dari Irama Nusantara. Turut hadir sebagai penanggap adalah Wiwiet Mardiati, akademisi pengamat subjek digital memory heritage dari Program Studi Manajemen Rekod dan Arsip (MRA), Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia. Acara semakin meriah dengan lantunan piano dan suara merdu yang dipersembahkan oleh moderator acara yaitu Reza Mahdi, founder jasa konsultasi LibExcellent.
Irama Nusantara adalah sebuah upaya pelestarian dan pengarsipan karya musik populer Indonesia. Berbagai karya sejak awal abad 20 tersedia melalui iramanusantara.org demi kepentingan referensi dan edukasi bagi masyarakat luas. Dalam presentasinya, Gerry menjelaskan bahwa landasan upaya ini adalah kurangnya budaya pengarsipan karya musik populer Indonesia. Penyuka musik populer memang dimanjakan dengan berbagai platform online pemutar musik sebagai hiburan. Namun akses untuk mempelajari sejarah musik populer Indonesia masih sangat terbatas.
Paparan Gerry Apriryan, Irama Nusantara, mengenai kurangnya budaya pengarsipan di Indonesia.
Irama Nusantara melestarikan karya musik dalam format analog seperti vinyl dan kaset ke dalam format digital. Reno menjelaskan bahwa metode pengarsipan yang dilakukan terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu mencari sumber daya, digitalisasi, restorasi dan publikasi karya melalui website.
Paparan Renovan Reza Rivandy mengenai metode pengarsipan rilisan musik.
Karya-karya dalam website Irama Nusantara dilengkapi dengan nama penulis lagu, artis penampil, informasi label rekaman, deskripsi format serta foto dari sampul album. Secara umum, koleksi karya dikategorikan berdasarkan judul record atau rilisan, nama artis dan nama label rekaman. Karya-karya tersebut tidak dikategorikan berdasarkan genre. Sebab menurut Gerry perlu keahlian tersendiri untuk mengkategorikan musik, misalnya dari ahli etnomusikologi atau pencipta rilisan itu sendiri.
Dalam tanggapannya, Wiwiet Mardiati menyampaikan bahwa Irama Nusantara telah memberikan kontribusi yang sangat bernilai dalam upaya membangun “collective remembering” atau membangun memori kolektif melalui platform digital. Inisiatif ini membuka akses dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami nilai, narasi, dan bias khusus dari suatu generasi melalui konten warisan budaya berupa karya musik populer.
Mendengarkan karya musik sering kali membawa kita untuk mengingat seseorang atau suatu peristiwa. Ingatan itu dapat bersifat personal sesuai pengalaman yang kita rasakan, dapat juga berupa ingatan kolektif yang memunculkan kenangan yang serupa. Hal ini didemonstrasikan oleh Wiwiet dengan memperdengarkan cuplikan lagu “Hati yang Luka” oleh Betharia Sonata, “Ekspresi” oleh Titi Dj dan “Cuma Khayalan” oleh Oppie Andaresta. Ramainya respon dari para peserta membuktikan bahwa ketiga lagu ini mendatangkan ingatan personal yang berbeda-beda, tetapi secara umum membawa kembali ingatan pada periode atau generasi tertentu ketika lagu tersebut tengah naik daun.
Acara ini dihadiri secara virtual oleh partisipan dari berbagai lembaga, profesional serta mahasiswa bidang rekod dan arsip. Diantaranya adalah Museum Musik Indonesia dari Malang, Jawa Timur. Kebanyakan peserta sudah sangat akrab dengan tema pengelolaan rekod dan arsip. Namun, acara ini menjadi penyegar dengan menyoroti jenis informasi terekam berupa rilisan musik. Membuka wawasan baru bahwa seni merupakan bentuk ekspresi yang merekam suatu memori pada zamannya.--